Namunsayangnya, sebagian besar pengasuh itu telah wafat. Dan saat ini hanya tinggal Habib Luthfi dan K.H. Ahmad Abdul Haq saja yang masih hidup dan mengajarkan thariqahnya. HABIB LUTHFI BIN YAHYA Habib Luthfi bin Ali bin Haysim Bim Yahya, Setelah berkembang selama lebih dari enam abad, thariqah saat ini telah tersebar di seluruh nusantara.
Syaikh Utsman Al-Ishaqi Kiai Utsman yang masih keturunan Sunan Giri itu adalah murid kesayangan dan badal Romli Tamim ayah Musta’in, Rejoso, Jombang, salah satu sesepuh Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di negeri ini. Ia dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto. Sepeninggal Kiai Musta’in sekitar tahun 1977. Kiai Romli Tamim KH Muhammad Romli Tamim lahir pada tahun 1888 H. di Bangkalan Madura. disamping seorang mursyid, beliau juga kreatif dalam menulis kitab. Beliau wafat di Rejoso Peterongan Jombang pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H atau tanggal 6 April 1958 M. Kiai Asrori Beliau memiliki nama panjang Asrori Al-Ishaqi. Sebagaimana dikutip dari beliau ulama Kedinding Lor, Surabaya yang lahir pada 17 Agustus 1951, dan wafat pada 18 Agustus 2009. Beliau mewarisi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ayahnya, Kiai Usman Al-Ishaqi, Pengasuh Pesantren Al-Fithrah. Habib Luthfi Beliau lahir di Pekalongan pada 10 November 1947 M yang bertepatan dengan 27 Rajab 1367 H, sebagaimana dikutip dari Beliau adalah pemilik majlis taklim yang bernama Kanzus Sholawat di dekat ndalem beliau di Pekalongan. Selain itu, beliau merupakan ketua umum di organisasi Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabarah al-Nahdliyyah JATMAN. Abah Anom Abah Anom merupakan pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Selain itu, beliau merupakan mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berpusat di Tasikmalaya. Sebagaimana diliris dari Abah Anom memiliki nama asli A. Shohibul Wafa Tajul Arifin. Beliau merupakan putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad. Beliau lahir pada 1 Januari 1915 di Ciawi, Tasikmalaya. Beliau wafat pada Selasa 6/9/2011 sebagaimana dikutip dari Ajengan Zezen Ajengan merupakan panggilan untuk ulama di Sunda. Ajengan Zezen yang memiliki nama lengkap Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab ini lahir pada 17 Februari 1955. Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zainiyah Sukabumi. Selain itu, beliau merupakan Wakil Talkin TarekatQadiriyah Naqsyabandi. Sumber Instagram hamdan_ali26
OlehMuhammad Alvin Jauhari Seorang Kiai besar, pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Falah sekaligus Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsabandiyah yang terkenal di Kudus. KH. Muhammad Shiddiq As-Shalihi atau biasa dikenal dengan Mbah Shiddiq Piji. Beliau dilahirkan di Medio pada tahun 1917 dari pasangan Kiai Juraimi dan Nyai Qamari.
Mengenang KH. Ahmad Asrori Ustman Al-Ishaqy Sang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa NaqsabandiyyahPublished on August 30, 2009 in Artikel Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 silsilahnya Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim ayah KH. Musta’in Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in sekitar tahun 1977, beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri dalam proses pembangunan serta bangunan masjid yang cukup Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT. Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 0220 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding SurabayaBeliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya
Maryam87) "yang sudah janji kepada Allah SWT. Mereka tentunya sudah di talqin, diajari oleh Mursyid bacaan dzikir dari Allah melalui pelantara Mursyid yang masih hidup, amalan yang sempurna dapat ijazah dari Mursyid, memiliki mata rantai sampai ke Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1997 beliau menikahi Nyai Durrotus Sa’adah asal Cirebon Jawa Barat. Kesibukan Beliau saat ini selain sebagai pengasuh pesantren, sekaligus sebagai Mursyid Thoriqoh Syadziliah yang memiliki wewenang untuk membai’at jamaahnya. Abah beliau, KH Muhaiminan yang mewariskannya sesaat sebelum wafat pada tahun 2007 silam. Beliau memiliki Jamaah Thoriqotnya berjumlah ribuan dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia Khususnya Jawa Tengah.*** Halaman 1 2 Sebelumnya Editor Eko Wahyu Budi Sumber Berbagai Sumber Tags ulama profil Mursyid KH Haidar Muhaiminan Toriqoh Asyadziliyah Artikel Terkait Sejarah dan Karomah SUNAN GUNUNG JATI, Diantaranya Bisa Keluarkan Penyakit Tumor Tanpa Operasi KAROMAH KH Maimoen Zubair, Tokoh Penting NU yang Pernah Ditemui Rasulullah KAROMAH KH Muhaiminan Gunardho Sang 'Pendekar' dari Parakan, Keturunan Sultan Hamengkubuwono II Terkini Makna Turun Hujan saat Prosesi Pemakaman Jenazah Menurut Islam, Ternyata Itu Adalah Bukti... Kamis, 4 Mei 2023 1009 WIB Dijamin Kaya Raya, Amalkan Bacaan Dzikir Tasbih Malaikat Ijazah Habib Novel Alaydrus Ini Minggu, 19 Maret 2023 0550 WIB Titisan Para Dewa, 8 Weton Laki-laki Ini Membawa Rezeki dan Keberuntungan, Apakah Weton Anda Termasuk? Rabu, 15 Maret 2023 1339 WIB Menakjubkan, Ini Tiga Balasan Bagi Pengamal Sedekah Subuh Ijazah Syekh Ali Jaber Jumat, 24 Februari 2023 1300 WIB Testimoni Amalan Sedekah Subuh, Ijazah dari Syekh Ali Jaber, Rezeki Berlimpah Hutang Lunas, Yukk Dawamkan Jumat, 24 Februari 2023 0900 WIB Ijazah Sedekah Subuh Syekh Ali Jaber, Wasilah Agar Hajat Apa Saja Segera Terkabul, Bagaimana Caranya? Jumat, 24 Februari 2023 0714 WIB Amalan Dzikir Pembuka Pintu Rezeki Sesuai Riwayat Rasulullah, Ijazah Habib Novel Alaydrus, Dibaca 100x Sehari Selasa, 17 Januari 2023 0632 WIB Amalan Dzikir Sugih Duit Ijazah Habib Novel Alaydrus Ya Hannan Ya Mannan Ya Fattah Ya Razzaq, Amalkan Yukk! Selasa, 17 Januari 2023 0620 WIB Bacaan Dzikir Ya Hannan Ya Mannan Ya Fattah Ya Razzaq Rezeki Akan Mengalir Deras Jumat, 13 Januari 2023 0847 WIB Tata Cara Ijazah Bacaan Dzikir Syekh Ali Jaber, Hasbunallah Wanikmal Wakil yang Ampuh untuk Segala Hajat Rabu, 21 Desember 2022 0730 WIB Sedekah di Waktu Ini, Menurut Syekh Ali Jaber Sangat Mustajab, Semua Hajat Terkabulkan! Selasa, 20 Desember 2022 0913 WIB Redaksi Bacaan Sholawat yang Terbaik dan Sempurna Menurut Syekh Ali Jaber, Beserta Pengamalannya Selasa, 20 Desember 2022 0905 WIB Syekh Ali Jaber Kerjakan Amalan Ini Setelah Sholat Fardhu, Ganjarannya Surga! Selasa, 20 Desember 2022 0903 WIB Teks Khutbah Jumat Hari Ini 2 Desember 2022 Terbaru, Tema Takwa Kunci Kehidupan Dunia Akhirat Jumat, 2 Desember 2022 0718 WIB Berikut Tata Cara dan Niat Mandi Besar Setelah Berhubungan Suami Istri Senin, 14 November 2022 0536 WIB Jadwal Puasa Ayyamul Bidh 8 November 2022 Lengkap dengan Niat dan Tata Caranya Selasa, 8 November 2022 0535 WIB Berikut Ini Profil Ustadzah Halimah Alaydrus, Juru Dakwah Keturunan Rasulullah yang Viral di TikTok Senin, 31 Oktober 2022 1820 WIB Doa Turun Hujan Disertai Angin Kencang dan Petir Sesuai Ajaran Rasulullah Jumat, 7 Oktober 2022 0952 WIB Rebo Wekasan Kapan dan Tanggal Berapa? Lengkap dengan Amalan Doa dan Cara Sholat Lidafil Bala Selasa, 20 September 2022 1426 WIB Amalan Rebo Wekasan Bacaan Doa dan dan Tata Cara Sholat Lidafil Bala Selasa, 20 September 2022 1422 WIB
Dalamtradisi tarekat, kedudukan mursyid senantiasa dijabat oleh orang laiki-laki. Tidak lazim mursyid dijabat oleh seorang wanita. Di daerah Malang, pernah ada kejadian bahwa seorang pengamal tarekat mendapatkannya dari seorang wanita, yang masih ibunya sendiri, kemudian ajarannya tidak diakui
- Sejarah thoriqoh di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thoriqoh di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali wafat 1111 M merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut sajaSyaikh Abdul Qadir Al-Jilani wafat 1166 M, yang ajaran tasawufnya menjadi dasar thoriqoh Qadiriyyah. Syaikh Najmudin Kubra wafat 1221 M, sufi Asia Tengah pendiri thoriqoh KubrawiyyahSyaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili wafat 1258, pendiri thoriqoh Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika UtaraAhmad Ar-Rifa’i wafat 1320 yang mendirikan thoriqoh Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan thoriqoh Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi wafat 1389 dan thoriqoh Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari wafat 1428 M. Kedua thoriqoh tersebut belakangan menjadi yang thoriqoh besar yang memiliki banyak pengikut di tanah sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thoriqoh yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thoriqoh di kalangan keluarga istana raja-raja satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thoriqoh adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan thoriqoh Kubrawiyyah dan jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thoriqoh dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa thoriqoh Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thoriqoh lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah thoriqoh Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thoriqoh tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani wafat 1775 M, penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thoriqoh Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid thoriqoh Sammaniyyah. Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thoriqoh telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thoriqohnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thoriqoh terkenal. Jejak thoriqoh Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. Selain dua thoriqoh tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN, tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi wafat 1878. Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama, yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura tinggal di Makkah. Thoriqoh besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah thoriqoh Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani 1737 – 1815 Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thoriqoh ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah. Selain thoriqoh-thoriqoh yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thoriqoh yang masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja thoriqoh Naqsyabandiyyah Khalidiyyah TNK, hasil pembaruan dari thoriqoh Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thoriqoh ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani khalifah Maula Khalid itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air. Thoriqoh Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thoriqoh tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah Syaikh Abdullah Kepatihan Tegal, Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja Banyumas, dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo Salatiga. Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya Kiai Arwani Amin Kudus, Abdullah Salam Kajen dan Hafidh Rembang. [8]Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya Said bin Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh Muhammad bin Ilyas mewariskan thoriqoh Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thoriqoh kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah thoriqoh Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara melalui jalur Kiai Abdul Malik, thoriqoh Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai Abdurrahman Syaikh Abdul Kaafi II Sumolangu, Kebumen; dan Idris Jamsaren, Solo. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama Kyai Ahmad, Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti banyak lagi thoriqoh-thoriqoh lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar keabsahannya diakui maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti thoriqoh Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti thoriqoh Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para alumnus Damaskus, Syiria[11].Namun demikian, meski secara umum thoriqoh terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak pusat pengajaran thoriqoh yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thoriqoh Syadziliyyah di Kota masa keemasaannya, Kota Solo dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran thoriqoh Syadziliyyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahlith thoriqoh. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan Ahmad, pengasuh Pesantren Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj, Panularan, dan Kyai Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan; Kyai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai Idris, Kacangan, beberapa nama tersebut hanya Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru murid. Setelah Kyai Idris Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang kemenakan, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti, seperti halnya mursyid-mursyid thoriqoh Syadziliyyah lain di Solo dan menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah thoriqoh yang sangat ketat menjaga tradisi ThoriqohSepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan golongan pertama memberontak dengan motivasi politik merebut kekuasaan dan golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.[12]Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata- mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi materi. Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat mengenal kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah laku pihatin, mujahadah perjuangan batin yang sungguh-sungguh, mukasyafah tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah, musyahadah penyaksian terhadap keberadaan Allah. Dengan isilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai dengan takhalli mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu tahalli menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu tajalli mendapatkan pencerahan dari Allah SWT. Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf atau munculnya Tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thoriqoh yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap thoriqoh Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. thoriqoh yang pertama lebih menekankan pada dzauq rasa sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan bukti nyata /empiris. Istilah thoriqoh juga digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang guru musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thoriqoh atau perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thoriqoh yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain yang Berhak Menjadi Mursyid ThoriqohMursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thoriqoh yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth thoriqoh, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya murid. Dalam thoriqoh Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thoriqoh. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul terhubung dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah perantara antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thoriqoh.[14] Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thoriqoh cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh thoriqoh Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam kedudukan yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat bai’at dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad bimbingan dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya politik, ekonomi, budaya, sosial dan luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thoriqoh juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thoriqoh. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thoriqoh prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thoriqoh, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thoriqoh –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thoriqoh dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thoriqoh dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid Syadziliyyahthoriqoh Syadziliyyah adalah thoriqoh yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H 1197 M, dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H 1258M.] Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ ketiadaan diri di hadapan Allah. Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal perasaan hadir di hadapan Allah. Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thoriqohnya berdiri di atas 5 perkara yang pokok, yaituTaqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun sunnah Nabi dalam perkataan maupun dari makhluk tidak menumpukan harapan ketika berada di depan atau di belakang terhadap Allah Swt dalam pemberianNya sedikit maupun kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thoriqohnya dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thoriqoh ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan -untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thoriqoh mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul dan Kemursyidan Syadziliyyah di SoloSebagaimana telah dipaparkan di pendahuluan, bahwa thoriqoh Syadziliyyah diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan thoriqoh Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa dan bukti yang lebih jelas dan detail tentang penyebaran thoriqoh Syadziliyah di Jawa baru ada di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan -atau lebih tinggi- dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Jawa yang berguru thoriqoh Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram antara lain Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani Syaikh Abdul Kaafi III Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya Ahmad Abdul Haqq Mbah Mad Watucongol, Abuya Dimyathi Cidahu, Pandeglang dan Kyai Iskandar Salatiga.Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara melalui jalur Ahmad Ngadirejo, ijazah kemursyidan kemudian diturunkan kepada Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta Pesulukan Tarekat Agung Tulungagung. Saat ini kemursyidan di PETA dipegang oleh Solahuddin Gus Saladin, putra Kyai Abdul Jalil mewariskan ijazah kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat beberpa khalifah. Salah khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan legendaris adalah Abdul Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid Kajoran menghadap Kyai Mustaqim dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat Muhaiminan Gunardo, Parakan Temanggung, sebagai khalifah thoriqoh Syadziliyyah jalur Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, ijazah kemursyidan turun kepada Sami’un, pendiri pesantren Parakonje, Banyumas, yang kini dilanjutkan oleh generasi keduanya, KH Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, dari Jalur Kyai Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani Syaikh Abdul Kaafi II Sumolangu, Kebumen, thoriqoh ini turun temurun diwariskan kepada putra-putranya Syaikh Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi sesudahnya, Chanifudin dan Musyaffa’ itu jalur kemursyidan Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren Jamsaren tumbuh pesat sebagai pusat pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa Tengah bagian selatan. Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran thoriqoh Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren wafat, Mbah Idris mewariskan ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada kemenakannya, Abdul Mu'id bin Thohir, keturunan Kyai Imam Rozi, salah seorang senopati Pangeran Diponegoro yang bergelar Singomanja. Ketika kemursyidan berada di tangan Kyai Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor kethoriqohan Jamsaren meredup, hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran agama Islam terbesar di Abdul Mu’id mendidik ribuan murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah kemursyidan adalah putra tertuanya, Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya, Kyai Ma’ruf diminta menjadi salah seorang ulama dan qadhi hakim agama di Keraton Kasunanan Surakarta. Kyai Ma’ruf pun kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang kemerdekaan, Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar thoriqoh Syadziliyyah di Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Barisan Kyai dan menurunkan ijazah kemursyidan kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah kekhalifahan kepada Soeratmo bin Amir Hasan, yang lebih dikenal dengn nama Mbah Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Ahmad Ma'ruf sendiri kemudian hanya sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi mursyid yakni Kyai Shodiq Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai Ma’ruf tidak menurunkan kemursyidannya kepada putranya, Djami’ul Abror. Beliau lebih memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut thoriqoh, Syaikh Abil Hasan Ali Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf berakhirlah garis kemursyidan thoriqoh Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris Kacangan pun hanya memiliki ijazah kekhalifahan yang tidak bisa ditinjau dari tradisi regenerasi kemursyidan thoriqoh, keputusan Kyai Ma’ruf untuk tidak lagi mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq besar kemungkinan karena ketatnya Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran thoriqoh yang menegaskan bahwa kemursyidan seseorang adalah kehendak Allah dan Rasul-Nya, bukan atas kemauan sang mursyid sendiri. Hanya alasan menjaga tradisi ini yang masuk akal sampai-sampai hingga akhir hayatnya Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya sendiri menjadi mursyid, meski dari segi kealimannya Gus Abror cukup memenuhi syarat. Bahkan dalam konteks tertentu, seorang mursyid pun tidak mengangkat khalifah baru, ketika seorang khalifah wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika diminta mengangkat pengganti Kyai Idris Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak karepku lan karepmu, ning karepe sing duwe thoriqoh ora ngono kuwi.” Itu –mengangkat pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thoriqoh tidak demikian.—garis silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis.Mengikuti tradisi keilmuan thoriqoh, murid-murid dari Syaikh Ma’ruf, Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai’at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid thoriqoh Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri.[1] Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.[2] ibid., Ibid, hlm. 224.[4] Meski begitu, dalam tradisi thoriqoh, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik dengan guru yang masih hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thoriqoh yang sudah wafat. Proses ijazah thoriqoh semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun 1957-2005, Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 162-163.[5] Ibid, hlm. 56-59[6] Martin Van Bruinessens, hlm. 20-21[7] Martin Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun 1997, hlm. 1-100[8] Tim Penyusun, Mengenal thoriqoh, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.[9] Muhdhor Assegaf, Biografi Abdul Malik bin Muhammad Ilyas Mursyid thoriqoh Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100[10] Berbagai catatan silsilah thoriqoh syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh tersebut, seperti dan sumber-sumber lain.[11] Disebut Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi Ad-Darqawi. Sementara thoriqoh Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah, Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal thoriqoh, LTN-JATMAN, 2005, hlm. 31 dan Tim Penyusun JATMAN, loc. Cit. hlm. 14[13] Tim Penyusun JATMAN, loc. cit. hlm. 22 [14] Ibid, hlm. 23 dan Prof. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik, Ramadhani, Solo, tt, hlm. 64-69[15] Syaikh Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil Ghuyub, Dar el-Fikr, Beirut, tt. hlm[16] Ibid[17] Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, Al-Lujjain Ad-Dani fi Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani, dalam Bulughul Amani terjemah manaqib dalam bahasa Jawa, Hasyim Putra, Semarang, tt. Hlm 31.[18] Hasil wawancara dengan Busroni, Nurhadi Syafi’I dan Muhammad Masroni, ketiganya adalah badal asisten mursyid dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, sekaligus juga pengurus pusat Jam’iyyah Ahlith thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah JATMAN di mana Habib Luthfi juga menjadi Rais Am-nya.[19] Ibid[20] Ibid[21] Muhammad Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili, Kepribadian dan Pandangan, Penerbit Al-Anwar, Brebes, 2012, hlm. 21[22] Tim Penyusun JATMAN, Abdurrahman Wahid, Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, dalam kumpulan tulisan Gus Dur, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, LKIS, Yogyakarta, cetakan III, 2000, website resmi Pesantren yang dirintis oleh Sami’un, kini diasuh oleh generasi ketiga.[28] dan Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum Istri Almarhum DJami’ul Abror, menantu Ma’ruf, serta Busroni dan Nurhadi Syafi’I, keduanya adalah badal mursyid thoriqoh Syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan.[30] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum Istri Almarhum DJami’ul Abror, menantu Ma’ruf[31] Wawancara dengan Kyai Busroni, Solo. Thoriqoh
Sejakumur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya.
Thoriqoh Shiddiqiyyah saat ini dipimpin oleh seorang Mursyid yaitu Almukarom Syekh Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi putra dari pasangan Hajj Abdul Mu’thi dan Nyai Nashihah. Dilahirkan di desa Losari, Ploso Jombang Jawa Timur, tanggal 14 Oktober 1928. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah Madrasah Islamiyah Rejoagung, Ploso, Jombang, Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang, kemudian dilanjutkan di Pesantren Tambakberas, Jombang. Setelah menempuh pendidikan pesantren beliau menjadi guru Madrasah di Lamongan dan pada saat itulah bertemu dengan Syekh Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni yang pada akhirnya melimpahkan Ilmu Thoriqoh pada Muchammad Muchtar. Beliau mendapat pendidikan dan pengajaran Thoriqoh dari Syekh Syuaib dalam crass program, atau program intensif lima tahun. Mulai tahun 1959 Kyai Muchtar mengajarkan Thoriqoh Shiddiqiyyah di desa Losari Ploso Jombang sampai sekarang. Pada perkembangan terakhir ini, Thoriqoh Shiddiqiyyah sudah tersebar ke berbagai pelosok tanah air Indonesia bahkan ke negera tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Murid-murid thoriqoh Shiddiyyah terus bertambah setiap hari dan diperkirakan sekarang ini lebih dari lima juta orang. Mereka terdiri dari segala umur, berbagai tingkat sosial ekonomi dan berbagai profesi dan keahlian. Karena pesatnya perkembangan kaum muslimin muslimat yang memerlukan bimbingan pelajaran thoriqoh Shiddiqiyyah, beliau Mursyid, mengangkat wakil-wakil yang disebut Kholifah yang bertugas mewakili Mursyid memberikan bimbingan pada murid-murid Shiddiyyah di seluruh penjuru nusantara. Kholifah yang pertama diangkat adalah Slamet Makmun, sebagai murid pertama, kemudian dikuti Duchan Iskandar, Sunyoto Hasan Achmad, Ahmad Safi’in, Saifu Umar Acmadi, Muhammad Munif dan lain-lain hingga lebih dari 40 orang kholifah. Pimpinan / Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah Kyai Muchammad Muchtar bin Hajji Abdul Mu’thi Lahir Losari, Ploso Jombang, 14 Oktober 1928 Alamat Desa Losari Kec. Ploso Kab. Jombang Jawa Timur Pendidikan Madrasah Islamiyah Rejoagung Ploso Jombang Pesantren Rejoso Peterongan Jombang Pesantren Tambakberas, Jombang Sumber Bahan Sosialisasi ORSHID dan Laporan YPS Pusat ke Kejaksaan Negeri Jombang 1989
AbuyaMuhtadi Cidahu Pandeglang Banten, sosok ulama kharismatik sekaligus paku Banten yang masih hidup. Sosok ulama yang terdaftar dalam jajaran Mustasyar PBNU ini, adalah seorang putra dari Abuya Dimyati Banten. Abuya Muhtadi juga disebut sebagai Al-Mursyid sebab telah menguasai 14 Fan Thoriqoh dan menjadi Mursyid Thoriqoh As Syadziliyyah.
SEJARAH Qudusiyah tidak bisa dipisahkan dari kedua mursyid awal thariqah ini. Mereka adalah Bapak Suprapto bin Kadis Darmosuharto atau lebih dikenal dengan "Suprapto Kadis" oleh murid-muridnya, yang merupakan pendiri sekaligus mursyid pertama; dan Bapak Zamzam A. J. Tanuwijaya yang merupakan murid generasi paling awal dan menjadi mursyid penerus. Tugas kemursyidan Bapak Suprapto dimulai pada tahun 1992, yang bertepatan dengan 63 tahun usia beliau. Menurut penuturan Bapak, usia 63 tahun dimulainya tugas kemursyidan ini memiliki makna yang khusus, di mana itulah usia ketika Rasulullah SAW wafat, sehingga apa-apa yang diamanatkan kepada beliau ini merupakan simbol ilmu penerus Nabi. Oleh karenanya, tanggal 15 Juli 1992, yaitu tepat 63 tahun usia beliau dan tiga windu setelah Bapak Suprapto menerima amr ilahiah kemursyidan, ditetapkan sebagai hari lahir thariqah yang pada saat itu belum memiliki nama. Zamzam muda yang sudah mengenal Bapak sejak tahun 1983, diinisiasi sebagai salik pada tahun 1991 saat berusia 25 tahun di kediaman Bapak Suprapto di Cilegon, Banten. Bapak Zamzam pula yang mengusulkan thariqah ini diberi nama "Kadisiyah". Meski demikian Bapak Suprapto menuturkan, bahwa kata "Kadis" dalam bahasa Jawa semakna dengan "Qudus" dalam lisan Arab. Perkembangan Awal Selama periode 1988 — 1991, Bapak Suprapto diizinkan untuk menginisiasi beberapa salik sebagai persiapan sebelum secara resmi dan terbuka menerima murid. Selain Bapak Zamzam, di antara sedikit muridnya pada masa itu adalah Bapak Akbar Sutisna almarhum, wafat 1997, yang melalui keduanya ajaran thariqah ini mulai tersebar di Bandung dan Jakarta. Di Bandung, atas permintaan Mursyid, sejak 1992 Bapak Zamzam mulai membuka pengajian pengantar tasawuf, yang dinamai Kajian Serambi Suluk dan ditujukan bagi para calon salik pejalan suluk sebelum memasuki kehidupan suluknya di thariqah. Pengajian yang hingga sekarang masih terus berlangsung dan dikenal sebagai "Kajian Serambi Suluk" ini dikemas dalam bentuk perkuliahan mingguan, yang di dalamnya memperkenalkan aspek-aspek tasawuf dan thariqah di dalam Islam yang secara ketat merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Salah satu topik sentral dalam ajaran thariqah yang dibawa oleh Bapak Suprapto adalah mendudukkan tasawuf Islam dalam kerangka dan landasan Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini tercermin dalam prasyarat untuk menjadi salik di thariqah ini, di mana para calon salik dipersyaratkan bagi yang sudah mengerjakan shalat lima waktu dan dapat membaca Al-Qur'an. Selain kedua prasyarat tersebut, seorang calon salik juga diharuskan memiliki pemahaman yang cukup atas persoalan kesulukan. Hal ini dilakukan karena adanya sebuah peringatan di dalam Al-Qur'an وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawab. – Al-Israa' [17] 36 Meneruskan Misi Suci Setelah kepindahan Beliau dari Cilegon ke Bandung di tahun 2008, tiga tahun kemudian, yakni tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2011, Bapak Suprapto wafat dalam usia 82 tahun. Tongkat kemursyidan pun kemudian diteruskan oleh Bapak Zamzam Tanuwijaya, yang telah menerima amr ilahiah kemursyidan sejak awal-awal masa suluknya di bawah bimbingan Bapak Suprapto. Sejak saat itu, jumlah salik thariqah pun meningkat pesat hingga mencapai 700 orang pada tahun 2018, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, dan sebagian berdomisili di luar negeri. Pada 15 Juli 2018, yaitu tepat 50 tahun setelah Bapak Suprapto bertemu dengan qudrah dirinya, Bapak Zamzam, sebagai Mursyid Penerus Thariqah yang saat itu bernama "Kadisiyah", menetapkan perubahan nama thariqah menjadi "Qudusiyah". Nama "Qudusiyah" ini terkait erat dengan tema sentral pengajaran Bapak Suprapto, yakni untuk memperkenalkan kembali dan menjelaskan konsep Ruhul-Qudus yang termaktub di dalam Al-Qur'an kepada umat lihat Makna Nama dan Lambang. Perubahan nama dari "Kadisiyah" menjadi "Qudusiyah" adalah juga untuk memfokuskan kembali tema sentral thariqah ini dari "Kadis" sebagai persona yakni "Kadis" yang sebenarnya adalah nama ayah dari Mursyid Pendiri Bapak Suprapto kepada "Qudus" atau "ke-Ruhul-Qudus-an" yang menjadi misi utama pewartaan yang disandang oleh thariqah ini. قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ Katakanlah, "Ruhul Qudus menurunkannya dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan hati orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah." – An-Nahl [16] 102 Keterangan Foto Masjid Agung Demak di akhir abad ke-19 di awal tulisan ini berlisensi Creative Common CC BY-SA dan merupakan milik Tropen Museum, Belanda. Sumber foto terdapat di tautan ini.
KH Rd. Muhammad Yusuf Prianadi Kartakoesoemah kupas tuntas tentang Maqom-maqom Thoriqoh Selengkapnya silahkan simak di link berikut..
Jumat, 26 Mei 2023 0700 WIB Mursyid. Iklan Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara BUMN Erick Thohir resmi menunjuk Mursyid sebagai Direktur Utama PT Waskita Karya Persero Tbk. menggantikan Destiawan Soewardjono. Erick merombak jajaran direksi dan komisaris Waskita Karya usai ditetapkannya Destiawan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. Penetapan Mursyid sebagai Direktur Utama Waskita Karya berlangsung dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan RUPST 2022 di Gedung Waskita Heritage, Jakarta, pada Kamis, 25 Mei 2023. Mursyid sempat menduduki posisi Plt Direktur Utama Waskita Karya saat Destiawan diberhentikan sementara dari jabatannya. Sebelumnya, Mursyid merupakan mantan Direktur Human Capital Management, Pengembangan Sistem dan Legal Waskita Karya. Mursyid pun pernah menjabat sebagai Komisaris Utama PT Waskita Karya Beton Tbk dan mengundurkan diri pada Juni 2022. Mursyid merupakan lulusan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia menyelesaikan gelar S1 Teknik jurusan Teknik Sipil pada 1993. Kemudian dia meraih gelar S2 jurusan manajemen di universitas yang sama pada 2010. Dia mulai berkarir di PT Wijaya Karya sejak 1993. Murysyid dipercaya menjabat sebagai pemimpin di berbagai proyek. Di antaranya Manajer Konstruksi Proyek Double Track Yogyakarta-Kroya pada 2005 sampai 2008. Kemudian dia menjabat sebagai Manajer Konstruksi Proyek Kanal Timur Paket 24 pada 2008 sampai 2009. Pada 2009-2012, Mursyid menjadi Manajer Proyek Pembangunan Dam Tembesi Tahap 1 Pilot Dyke. Lalu pada pada 2012-2023, dia menjabat posisi Manajer Proyek Pembangunan Dermaga Utara Pelabuhan Laut Batu Ampar. Dia juga pernah menjadi General Manager Departemen Umum 1 pada 2015 sampai Selain menunjuk Direktur Utama yang baru, ... 12 Selanjutnya Artikel Terkait Erick Thohir Ungkap 6 Terobosan Baru dalam Kompetisi Liga 1 2023-2024 1 jam lalu Targetkan Dividen BUMN 2024 Rp 80,2 T, Erick Thohir Sebenarnya Cukup Berat 1 jam lalu Liga 1 Musim 2023-2024 akan Tetapkan Salary Cap, Erick Thohir Agar Klub Tak Bangkrut 8 jam lalu Cak Imin Sebut PKB Terbuka jika PAN Ingin Gabung Koalisi KIR 8 jam lalu PMN Tambahan Injourney Rp 1,19 T Disetujui, Dirut Untuk Penyelesaian Kewajiban di Mandalika 8 jam lalu Emtek Grup Kembali Pegang Hak Siar, Liga 1 2022-2023 Ditayangkan Langsung Indosiar dan Vidio 10 jam lalu Rekomendasi Artikel Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini. Video Pilihan Erick Thohir Ungkap 6 Terobosan Baru dalam Kompetisi Liga 1 2023-2024 1 jam lalu Erick Thohir Ungkap 6 Terobosan Baru dalam Kompetisi Liga 1 2023-2024 Erick Thohir menyebut banyak terdapat terobosan baru untuk Liga 1 2023/2024 musim depan yang akan dimulai pada 1 Juli. Targetkan Dividen BUMN 2024 Rp 80,2 T, Erick Thohir Sebenarnya Cukup Berat 1 jam lalu Targetkan Dividen BUMN 2024 Rp 80,2 T, Erick Thohir Sebenarnya Cukup Berat Kementerian BUMN menyebut dividen yang berpotensi untuk diberikan pada 2024 Rp80,2 triliun. Liga 1 Musim 2023-2024 akan Tetapkan Salary Cap, Erick Thohir Agar Klub Tak Bangkrut 8 jam lalu Liga 1 Musim 2023-2024 akan Tetapkan Salary Cap, Erick Thohir Agar Klub Tak Bangkrut Ketua Umum PSSI Erick Thohir akan menetapkan standar gaji dan pengeluaran untuk klub Liga 1 mulai musim 2023-2024. Cak Imin Sebut PKB Terbuka jika PAN Ingin Gabung Koalisi KIR 8 jam lalu Cak Imin Sebut PKB Terbuka jika PAN Ingin Gabung Koalisi KIR Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengatakan PKB sangat terbuka jika Partai Amanat Nasional PAN akan merapat ke Koalisi KIR PMN Tambahan Injourney Rp 1,19 T Disetujui, Dirut Untuk Penyelesaian Kewajiban di Mandalika 8 jam lalu PMN Tambahan Injourney Rp 1,19 T Disetujui, Dirut Untuk Penyelesaian Kewajiban di Mandalika Usulan Penyertaan Modal Negara PMN tambahan yang diajukan Kementerian BUMN untuk holding BUMN pariwisata, PT Aviasi Pariwisata Indonesia Persero atau dikenal InJourney, sebesar Rp 1,19 triliun telah disetujui DPR RI. Bagaimana alokasi penggunaannya? Emtek Grup Kembali Pegang Hak Siar, Liga 1 2022-2023 Ditayangkan Langsung Indosiar dan Vidio 10 jam lalu Emtek Grup Kembali Pegang Hak Siar, Liga 1 2022-2023 Ditayangkan Langsung Indosiar dan Vidio PT Elang Mahkota Teknologi Emtek Group melalui Indosiar dan Vidio akan kembali menjadi pemegang hak siar Liga 1 2023-2024. Selain Erick Thohir, PAN Juga Munculkan Muhadjir Effendy sebagai Bacawapres 10 jam lalu Selain Erick Thohir, PAN Juga Munculkan Muhadjir Effendy sebagai Bacawapres Politikus Partai Amanat Nasional Zainuddin Maliki mengatakan Muhadjir Effendy masuk dalam bursa cawapres di partainya selain Erick Thohir. Dugaan Lapkeu Waskita dan WIKA Dipoles, Erick Thohir Pasti Kita Lakukan Tindakan Hukum Keras 11 jam lalu Dugaan Lapkeu Waskita dan WIKA Dipoles, Erick Thohir Pasti Kita Lakukan Tindakan Hukum Keras Menteri Badan Usaha Milik Negara BUMN Erick Thohir menanggapi dugaan laporan keuangan BUMN Karya, PT Waskita Karya Persero Tbk dan PT Wijaya Karya Persero Tbk alias WIKA. WSBK dan MotoGP di Mandalika Merugi, Erick Thohir Event yang Memberatkan, Negoisasi Ulang 12 jam lalu WSBK dan MotoGP di Mandalika Merugi, Erick Thohir Event yang Memberatkan, Negoisasi Ulang Sejumlah event internasional di Sirkuit Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat disebut merugi. Menteri Badan Usaha Milik Negara BUMN Erick Thohir menyebut akan melakukan negosiasi ulang terhadap beberapa event tersebut. Jokowi Minta Pengawasan Berorientasi Hasil, BPKP Ekspektasi Tinggi Presiden Harus Kita Jaga 12 jam lalu Jokowi Minta Pengawasan Berorientasi Hasil, BPKP Ekspektasi Tinggi Presiden Harus Kita Jaga Ateh meminta seluruh pegawai BPKP untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan Presiden Jokowi.
Padahaljelas sekali dalilnya bahwa seorang mursyid itu harus masih hidup. Sesepuh tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya KH Muhammad Sholeh menambahkan, tarekat tidak akan bisa berjalan ketika tidak ada gurunya (mursyid). baca juga: Penerus Mursyid TQN PP Suryalaya, Dan Bukti Keontetikan Abah Aos Sebagai Mursyid
Di Kedung Paruk, Sokaraja Banyumas Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah diajarkan oleh Syekh Muhammad Ilyas bin Aly yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Guru Ilyas tahun 1864 M dan sejumlah penerusnya seperti Mbah Malik, KHR Rifa’i Afandi, KHR Abdussalam dan KHR Toriq Arif Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah salah satu thariqah mu’tabarah yang dalam sejarah mempunyai silsilah guru sampai Rasulullah SAW melalui mursyid akbar guru besar Syekh Muhammad Bahaudin al-Uwaisi al-Bukhari Ilyas Kedung ParukSyekh Muhammad Abdul MalikPenerus ThariqahMursyid ThariqahSilsilah Guru-Guru ThariqahMbah Ilyas Kedung ParukSemula Mbah Guru Ilyas hanya mengajarkan thariqah ini di Grumbul Kedung Paruk Desa Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas Purwokerto. Namun perkembangannya meluas sampai Sokaraja dan daerah-daerah sekitar Karisidenan dan pengembang thariqah yang diajarkan oleh Mbah Guru Ilyas di Kedung Paruk adalah putra beliau dari istri Kedung Paruk Nyai Zainab cucu Syekh Abdus Shomad/Mbah Jombor , yaitu Syekh Muhammad Abdul Malik, sedang yang di Sokaraja adalah putra beliau dari istri Sokaraja Nyai Khatijah putri Kiai Abu Bakar Penghulu Landrat/ Peradilan Agama, yaitu Syekh Muhammad Muhammad Ilyas Mbah Guru Ilyas, memperoleh ijazah sebagai mursyid Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah dari Syekh Sulaiman Zuhdi Al Makki di Jabal Qubes Makkah Saudi Arabia. Beliau berguru memperdalam ilmu tasawuf dan berbagai disiplin ilmu lainnya di tanah suci selama 40 Guru Ilyas adalah salah satu dari sembilan Ulama yang mendapat amanah mengajarkan dan menyebarluaskan thariqah di tanah jawa khususnya dan nusantara Indonesia pada umumnya. Dari sang guru Syekh Sulaiman Zuhdi Al Makki Selama 48 tahun 1864-1912 Mbah Guru Ilyas mengemban amanah mengajarkan dan menyebarluaskan Thariqah Naqsyabandiyah Al Khalidiyah di sekitar Karsidenan Muhammad Abdul MalikBeberapa saat sebelum Mbah Guru Ilyas wafat tahun 1333 H/1912 M, kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Kedung Paruk diamanahkan kepada Syekh Muhammad Abdul Malik dan kemursyidan di Sokaraja diamanahkan kepada Syekh Muhammad Affandi. Mbah Guru Ilyas wafat dalam usia 147 tahun dimakamkan di komplek Pondok Thariqah Sokaraja Muhammad Abdul Malik yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Malik, di samping mengajarkan mursyid Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah juga mengajarkan mursyid thariqah Syadziliyah dua thariqah terbesar di jugaBanom NU karangjengkol Ziarah Wali se Cilacap- BanyumasHalal Bihalal dan Silaturahim Toriqoh Nahsyabadiyah….Toriqoh Menurut Maulana Habib Lutfi bin YahyaSyekh Muhammad Abdul Malik dikenal sebagai Guru Besar Thariqah An Naqsyabandiyah dan Thariqah As Syadziliyyah Indonesia. Beliau memperoleh ijazah mursyid Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah langsung dari sang ayah Syekh Muhammad Ilyas, sedang ijazah mursyid thariqah Syadziliyyah diperoleh dari Al Qutub Al’Arif Billah As Sayyid Ahmad Nahrawi Al Makki Makkah Saudi samping itu Mbah Malik juga pengamal Thariqah Qadiriyyah, Alawiyyah dan lainnya. Konon Mbah Malik mengamalkan 12 Thariqah. Namun ada empat thariqah yakni Naqsyabandiyah Khalidiyah, Syadziliyah, Qadiriyyah dan Awwaliyyah yang beliau ajarkan kepada Malik memangku kemursyidan thariqah di Kedung Paruk selama 68 tahun 1912-1980 M. Beliau wafat dalam usia 99 tahun, pada hari Kamis malam Jum’at, 2 Jumadil Akhir 1400 H/ 17 April 1980 M dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung ParukThariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah diturunkan kemursyidannya kepada Syekh Abdul Qadir cucu Mbah Malik dan dua thariqah terbesar Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Syadziliyah diturunkan kemursyidannya kepada murid kesayangannya, yaitu Al Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan Rais Am Jam’iyyah At Thariqah Mu’tabarah An Nahdiyyah Indonesia JATMAN.Penerus ThariqahPenerus Syekh Muhammad Abdul Malik di Kedung Paruk adalah cucu-cucu beliau, karena beliau tidak menurunkan anak laki-laki anak laki-laki satu-satunya yang bernama Ahmad Busyairi wafat ketika masih lajang umur 36 tahun. Satu-satunya anak perempuan Mbah Malik Nyai Chairiyah, menurunkan 9 orang anak 3 anak laki-laki dan 6 anak perempuan.Penerus pertama Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah Syekh Abdul Qadir bin Haji Ilyas Noor cucu nomor 3, memperoleh ijazah mursyid langsung dari Mbah Malik, memangku kemursyidan selama 22 tahun 1980-2002. Syekh Abdul Qadir wafat pada hari senin 5 Muharram 1423 H/ 19 Maret 2002 M, dalam usia 60 tahun dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung kedua Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah cucu nomor 6, Syekh Sa’id bin Haji Ilyas Noor, Beliau memperoleh ijazah mursyid dari Alhabib Almursyid Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun 2002-2004. Syekh Said wafat pada hari kamis, 3 juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung penerus ketiga Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah cucu nomor 7, Haji Muhammad bin Haji Ilyas Noor. Ia memperoleh ijazah mursyid dari Alhabib Almursyid Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya pada hari senin 1 Rajab 1424 H/ 18 Agustus 2004 M. Saat ini, thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Kedung Paruk dipimpin oleh Haji Muhammad Ilyas Noor penerus ketiga Mbah pondok pesantren Bani Malik resmi pada tahun 2004. Sebelumnya jam’iyyah thariqah Kedung Paruk memiliki nama Pondok Pesantren Thariqah Robithoh As-shufiyah. Pergantian nama ini untuk mengabadikan Mbah Malik, sebagaimana ungkapan Kiai Muhammad Ilyas nama menjadi pondok pesantren bani malik ini mulai tahun 2004. Dulu awalnya malah tanpa nama ketika tahun 1864-1980. Perubahan nama ini karena ingin mengabadikan Mbah Malik karena Beliau sebagai pendobrak, pemerkasa dakwah di siniBerikut mursyid-mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Al Khalidiyah Ilyas, Wafat 29 Shofar 1334 H 05 Januari, 1916 MKHR Muhammad Affandi, Wafat 1347 H 1929 MKHR Ahmad Rifa’i, Wafat 1388 H 1969 MKHR Abdusalam, Wafat Hari Senin, 13 Rajab, 1435 H 12 Mei 2014 MKHR Toriq Arif Ghuzdewan MSCESilsilah Guru-Guru ThariqahRasululloh Muhammad SAWSahabat Abu Bakar-SiddiqSahabat Salman Al-FarisiSyekh Qashim bin MuhammadSyekh Ja’far ShodiqSyekh Thaifur bin Isa Abu Yazid BustomiSyekh Abi Hasan Ali KhorqoniSyekh Abi Ali Al FadloiSyekh Yusuf HamdaniSyekh Abdul Kholiq GhujdawaniSyekh Arif RiwikariSyekh Mahmud Anjir FaghnawiSyekh Ali RomitaniSyekh Baba SamasiSyekh Amir Kulal KhojikaniyahSyekh Muhammad Bahauddin NaqsyabandiSyekh Alaudin AththorSyekh Ya’qub JarhiSyekh Nashiruddin Ubaidillah AhrorSyekh Muhammad ZahidSyekh Muhammad DarwisySyekh Muhammad KhaujakiSyekh Muhammad Baqi BillahSyekh Ahmad FaruqiSyekh Muhammad Ma’shumSyekh Muhammad SaifudinSyekh Nur Muhammad BudwaniSyekh Habibullah Syamsuddin Jana JananSyekh Abdullah DahlawiSyekh Khalid BaghdadiSyekh Abdullah MakkiSyekh Sulaiman QorimiSyekh Sulaiman Zuhdi Ismail BarusiKHR Muhammad IlyasKHR Afandi IlyasKHR Rifa’i AfandiKHR AbdussalamKHR Toriq Arif GhuzdewanThariqah Naqsyabandiyah Al Khalidiyah Mursyid, Guru & Silsilah, sumber Thariqah Sokaraja KhayaturrohmanIkuti berita NU Cilacap Online NUCOM di Google News, jangan lupa untuk follow Suka Berkomunitas, Suka Kopi, Blogger, Pengembang Website, Praktisi Ruqyah Aswaja, Terapis Cilacap, Team IT Situs Islam Aswaja NU Cilacap Online
Kemursyidanitu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma'rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma'rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn 'Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.
THARIQAH Qudusiyah dibawa dan didirikan oleh Bapak Suprapto pada 15 Juli 1992. Sepeninggal beliau pada 13 Agustus 2011, mursyid thariqah ini adalah Bapak Zamzam A. J. Tanuwijaya. Berikut adalah biografi singkat kedua mursyid Thariqah Qudusiyah. Suprapto 1992 — 2011 Bapak Suprapto bin Kadis Darmosuharto, atau lebih dikenal dengan "Suprapto Kadis" oleh para muridnya, adalah seorang putera Jawa kelahiran Desa Karang Tawang, Cilacap, pada 13 April 1929 Masehi 4 Dzulqa’dah 1347 Hijriah. Saat duduk di bangku Shoto Chu Gakko SMP, Bapak Suprapto terlibat dalam perjuangan kemerdekaan melawan pendudukan Jepang. Beliau kembali masuk barisan Tentara Pelajar ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I 1948. Pasca pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI pada Agustus 1950, Bapak Suprapto melanjutkan pendidikan dengan beasiswa dari negara di Sekolah Teknik setara STM. Pendidikan tinggi sempat ditempuhnya selama dua tahun di Akademi Teknik Nasional di Jakarta, sebelum mendapatkan panggilan untuk mengajar di STM Cilacap dari tahun 1957 hingga 1962. Setelah itu Bapak Suprapto kembali ke Jakarta dan bekerja di Perusahaan Negara PN Peprida, dan turut terlibat dalam berbagai pembangunan proyek pemerintah di beberapa propinsi di Indonesia. Meletusnya peristiwa G-30S/PKI pada 30 September 1965, membuat berbagai proyek pemerintah terhenti. Setelah sempat diperbantukan sebagai Supervisor Listrik dalam pembangunan Gedung CONEFO sekarang Gedung DPR/MPR RI pada tahun 1966, Bapak Suprapto akhirnya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, keadaan sosial dan politik yang sulit pada masa itu membuat berbagai usahanya tidak berhasil. Di tengah-tengah kesulitan yang sedang dijalaninya, Bapak Suprapto memilih untuk kembali mempelajari agama, hingga pada 15 Juli 1968, menjelang usia 40 tahun, Bapak Suprapto dianugrahi Allah untuk mengenal qudrah-diri, sebagai guru atau mursyid yang membawa ajaran thariqah yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika kondisi sosial dan politik di Indonesia berangsur-angsur membaik, pada tahun 1974 Bapak Suprapto bekerja di PT Krakatau Steel, Cilegon, yang beliau jalani hingga pensiun di tahun 1988. Baru setelah itu Bapak Suprapto membuka diri untuk membimbing para murid di jalan suluk. Bertepatan dengan usia 63 tahun, pada tahun 1992 Bapak Suprapto secara resmi membuka thariqah dan bertugas sebagai mursyid. Pada tahun 2008, Bapak Suprapto pindah ke Kota Bandung. Beliau menghabiskan sisa hidupnya di kota tersebut hingga wafat pada tanggal 13 Agustus 2011 Masehi 13 Ramadhan 1432 Hijriah pada usia 82 tahun. Bapak Suprapto dimakamkan di kaki Gunung Mandalawangi, Desa Mandalasari, Kabupaten Bandung, wilayah Bandung Timur. Zamzam A. J. Tanuwijaya 2011 — Sekarang Bapak Zamzam A. J. Tanuwijaya adalah putera Sunda kelahiran Cimahi, Jawa Barat pada 16 Juli 1965 Masehi 17 Rabbiul Awwal 1385 Hijriah. Mengikuti tugas Ayahnya sebagai seorang dokter, pada tahun 1968-1971 Bapak Zamzam menghabiskan masa kecilnya di Cikajang, lalu pindah ke Garut dan menyelesaikan pendidikan SD serta SMP di kota ini. Pada tahun 1981, Beliau pindah ke Bandung untuk melanjutkan jenjang pendidikan SMA. Pendidikan tinggi ditempuh di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1985, dan hingga sekarang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi tersebut. Sejak masa SMA, Bapak Zamzam tertarik membaca kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin, Minhajul-Abidin, dan Misykatul-Anwar. Ketertarikannya kepada ajaran-ajaran sufistik sempat membawanya berkunjung ke Pesantren Al-Ghazali, Bogor, di bawah kepemimpinan Abdullah bin Nuh; dan Pesantren Gentur, Cianjur, yang diasuh oleh Abdulhaq Enoch. Hingga kemudian, saat masih duduk di bangku SMA, Zamzam muda bertemu dengan Bapak Suprapto. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, Bapak Zamzam pun mengikuti proses inisiasi suluk melalui Bapak Suprapto pada tanggal 28 Juni 1991 15 Dzulhijjah 1411 Hijriah. Bapak Zamzam termasuk murid generasi awal Thariqah Qudusiyah. Sepeninggal Mursyid Suprapto, Bapak Zamzam menerima mandat ilahiyah untuk melanjutkan tugas kemursyidan di Thariqah Qudusiyah.
. o1b7d2iazf.pages.dev/185o1b7d2iazf.pages.dev/85o1b7d2iazf.pages.dev/920o1b7d2iazf.pages.dev/476o1b7d2iazf.pages.dev/792o1b7d2iazf.pages.dev/979o1b7d2iazf.pages.dev/576o1b7d2iazf.pages.dev/691o1b7d2iazf.pages.dev/732o1b7d2iazf.pages.dev/340o1b7d2iazf.pages.dev/249o1b7d2iazf.pages.dev/343o1b7d2iazf.pages.dev/933o1b7d2iazf.pages.dev/355o1b7d2iazf.pages.dev/240
mursyid thoriqoh yang masih hidup